Beranda | Artikel
Kiat Shalat Khusyuk #01
Selasa, 23 April 2019

Bagaimana agar kita dapat shalat khusyuk? Berikut kiat-kiat yang akan disusun oleh Rumaysho bersumber dari buku shalat khusyuk karya Syaikh Sa’id bin Wahf Al-Qahthani.

 

Pertama: Mengenal Allah dengan mengenal nama dan sifat-Nya, juga mengenal uluhiyah dan rububiyah-Nya

 

Mengenal Allah itu ada dua macam:

  1. Menetapkan adanya Allah, ini dikenal semua orang.
  2. Mengenal Allah yang menyebabkan kita semakin cinta kepada-Nya, ini pengenalan orang-orang tertentu dan manusia bertingkat-tingkat dalam hal ini.

Cara mengenal Allah ada dua:

  1. Merenungkan ayat-ayat Allah dalam Al-Qur’an Al-Karim, memahami secara khusus dari Allah dan Rasul-Nya.
  2. Merenungkan ayat-ayat Allah yang bisa disaksikan serta memahami makna setiap nama dan sifat Allah.

 

Kaedah penting dalam nama dan sifat Allah:

 

Pertama: Seluruh nama Allah pasti husna

 

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَاۖوَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِۚسَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 180).

Asmaa’ adalah bentuk jamak dari kata ‘ism’ yang berarti nama dari dzat yang memiliki nama dan sifat. Nama-nama Allah adalah nama-nama yang paling mulia, yang Allah menamai Diri-Nya dengan nama-nama tersebut atau nama yang ditetapkan oleh Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Husna adalah bentuk mu’annats (lafaz berjenis wanita) dari kata ‘ahsan’ (paling bagus) bukan bentuk mu’annats dari kata ‘hasan’. Sepadan dengan ‘kubro’ (bentuk mu’annats dari ‘akbar’) dan ‘mutsla’ (bentuk mu’annats dari ‘amtsal’). Nama-nama Allah adalah husnaartinya mencapai puncak kesempurnaan dan keindahan. Hal itu dikarenakan Nama-Nama Allah mengandung sifat-sifat kesempurnaan yang tidak terdapat sedikit pun kekurangan padanya dari sisi manapun, baik dari sisi ihtimal (kemungkinan asal makna lafaz) atau dari sisi taqdir (penetapan makna pelengkap yang muncul dari hasil terkaan dalam pikiran pendengar).

Semua nama Allah menunjukkan sanjungan dan pujian bukan sekedar label/merek. Akan tetapi, nama Allah berlaku sebagai nama yang sekaligus mengandung sifat. Allah yang Mahasuci lagi Mahatinggi telah memerintahkan hamba-hamba-Nya supaya mereka berdo’a kepada-Nya dengan perantara menyebut Nama-Nama-Nya.

 

Kedua: Nama Allah tidak dibatasi oleh jumlah bilangan tertentu.

 

Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya dan dibawakan juga oleh imam ahli hadits selain beliau dari jalur Ibnu Mas’ud. Di dalam hadits tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa ketika dirundung duka dan kesedihan,

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، اِبْنُ عَبْدِكَ، اِبْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ.

ALLOOHUMMA INNI ‘ABDUK, IBNU ‘ABDIK, IBNU AMATIK, NAASHIYATII BIYADIK, MAADHIN FIYYA HUKMUK, ‘ADLUN FIYYA QODHOO-UK. AS-ALUKA BIKULLISMIN HUWA LAK, SAMMAYTA BIHI NAFSAK, AW ANZALTAHU FII KITAABIK, AW ‘ALLAMTAHU AHADAN MIN KHOLQIK, AWISTA’TSARTA BIHI FII ‘ILMIL GHOIBI ‘INDAK. AN TAJ’ALAL QUR’AANA ROBII’A QOLBII, WA NUURO SHODRII, WA JALAA-A HUZNII, WA DZAHAABA HAMMII.

Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu (Adam) dan anak hamba perempuan-Mu (Hawa). Ubun-ubunku di tangan-Mu, keputusan-Mu berlaku padaku, ketentuan-Mu kepadaku pasti adil. Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu gaib di sisi-Mu. Mohon jadikan Al-Qur’an sebagai penenteram hatiku, cahaya di dadaku, pelenyap duka, dan penghilang kesedihanku. (HR. Ahmad, 1:391 dan 1:452, dari ‘Abdullah)

Adapun nama yang disembunyikan dalam ilmu gaib oleh Allah maka tidak ada seorang pun yang bisa mengetahuinya. Begitu pula nama yang diajarkan-Nya kepada sebagian golongan di antara makhluk-Nya, bisa jadi golongan yang lain tidak mengetahuinya.

Adapun hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ للهِ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اسْمًا ، مِائَةً إِلاَّ وَاحِدًا ، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الجَنَّةَ

Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama–seratus kurang satu–yang apabila seseorang menghitungnya niscaya dia masuk Surga.” (HR. Bukhari, no. 7392 dan Muslim, no. 2677)

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa hadits ini bukanlah dalil pembatasan jumlah Nama Allah Ta’ala sebagaimana disepakati oleh para ulama. Hadits ini tidak menunjukkan bahwa Allah tidak memiliki nama selain nama yang jumlahnya sembilan puluh sembilan. Sesungguhnya maksud dari hadits adalah barangsiapa menjaga sembilan puluh sembilan nama tadi, niscaya dia akan masuk surga. Bukan maksud pengabaran hanyalah untuk orang yang menghitungnya semata. Karena nama Allah tidak dibatasi sebagaimana disebutkan dalam hadits, ‘Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu gaib di sisi-Mu.’ Al-Hafizh Abu Bakar Al-‘Arabi Al-Maliki, dari sebagian ulama Malikiyah menyatakan bahwa nama Allah itu ada seribu nama. Ibnul ‘Arabi katakan, itu tetap masih sedikit. Wallahu a’lam. Adapun penentuan sembilan puluh sembilan nama tersebut terdapat dalam Jami’ At-Tirmidzi. Namun penentuan sebagian nama di dalamnya terdapat beda pendapat di antara para ulama.

Adapun pengertian, siapa yang menghitungnya sebagaimana dalam hadits adalah siapa yang menghafalnya. Ulama lainnya mengatakan maksudnya adalah siapa yang memperhatikan nama tersebut, siapa yang menjalankan konsekuensinya, siapa yang membenarkan maknanya, hingga siapa yang mengamalkannya. Lihat Syarh Shahih Muslim, 17:6.

 

Kedua: Mengobati keras, sakit, dan kelalaian hati

 

Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ

Ingatlah di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad akan ikut baik. Jika ia rusak, maka seluruh jasad akan ikut rusak. Ingatlah segumpal daging itu adalah hati (jantung).” (HR. Bukhari, no. 2051 dan Muslim, no. 1599)

 

Cara mengobati kerasnya hati:

  1. Melaksanakan kewajiban kepada Allah.
  2. Banyak mengingat Allah dengan hati dan lisan.
  3. Meninggalkan dosa dan bertaubat darinya.
  4. Tidak banyak tertawa karena banyak tertawa mematikan hati.
  5. Banyak mengingat kematian.
  6. Menyantuni orang miskin dan menyayangi anak yatim.
  7. Ziarah kubur lalu merenungkan kondisi dan tempat kembali penghuninya.
  8. Melihat kampung kaum yang telah binasa dan mengambil pelajaran dari tempat tinggal orang-orang yang telah berlalu.
  9. Memetik faedah dari ungkapan-ungkapan bijak ahli hikmah untuk menyembuhkan hati.
  10. Mengobati kerasnya hati dengan memperhatikan bahwa hati itu ada tiga: qolbun saliim (hati yang bersih), qolbun mayyit (hati yang mati), dan qolbun maridh (hati yang sakit). Hati yang mati ibarat rumah yang kosong tak ada sesuatu pun di dalamnya. Hati yang sakit itu ibarat rumah pelayan yang terdapat harta simpanan di dalamnya. Hati yang bersih ibarat rumah milik raja yang banyak harta simpanan, kekayaan, dan berlian. Orang tidak mungkin mencuri di rumah yang kosong, karena tidak ada apa-apa yang bisa diambil. Di rumah raja pun sulit bagi pencuri melakukan aksinya. Yang ada pencuri bisa melakukan aksi di rumah pelayan.

Berlanjut insya Allah.

 

Referensi:

Al-Khusyu’ fii Ash-Shalah fii Dhau Al-Kitab wa As-Sunnah. Cetakan kedua, Tahun 1434 H. Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani.

 


 

Senin, 16 April 2019

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

 


Artikel asli: https://rumaysho.com/20288-kiat-shalat-khusyuk-01.html